Rabu, 24 April 2024

Breaking News

  • Mempererat Tali Silaturahmi, Awak Media Disambut Baik Oleh Kasi Humas Polres Kuansing   ●   
  • Kajati Riau Terima Kunjungan Anggota Komisi II DPR RI   ●   
  • Kasi Penkum Bidang Intelijen Kejati Riau hadiri kegiatan UKW Angkatan XXIII PWI Riau   ●   
  • Kajati Riau Terima Kunjungan Sespim Lemdiklat Polri   ●   
  • Hadiri Pelaksanaan UKW PWI Riau, Ini Pesan Penting Irjen M Iqbal   ●   
Degradasi Hak Istimewa Kreditur Pemegang Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/Puu-Xvii/2019
Selasa 01 Agustus 2022, 20:25 WIB
Yelia Nathassa Winstar, S.H.,M.Kn Dosen Hukum Universitas Lancang Kuning

Pada tanggal 06 Januari 2020, Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materil Pasal 15 ayat  (2) beserta penjelasannya dan ayat (3) Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF merupakan pasal yang mengatur mengenai eksekusi jaminan fidusia. Dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR  18/Puu-Xvii/2019hakim Mahkamah Konsitusi beranggapan bahwa Pasal dan ayat-ayat tersebut beserta penjelasannya dinyatakan inkonstitusiaonal karena tidak sesuai dengan hak-hak konstitusional pemohon yang  tercantum dalam “Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945”. Pasca putusan tersebut terdapat beberapa implikasi yuridis yaitu :

1)   Sifat Eksekutorial pada Sertifikat Jaminan Fidusia dapat berlaku bilamana :

  1. Adanya kesepakatan mengenai cidera janji antara kreditur dan debitur
  2. Adanya kerelaan debitur atau pemberi jaminan fidusia untuk menyerahkan objek jaminan fidusia pada saat eksekusi

2)   Bilamana terjadi wanprestasi debitur, maka Penerima Fidusia tidak memiliki hak untuk melakukan Parate eksekusi yang berarti penerima fidusia tidak dapat melakukan pelelangan atas kekusaannya sendiri kecuali kedua syarat diatas terpenuhi.

Dosen Hukum Universitas Lancang Kuning

Faktanya, akibat implikasi yuridis ini bagi kreditur adalah pelasanaan eksekusi tidak dapat dilakukan berdasarlam kekuatan eksekutorial yang berarti tidak dapat melakukan eksekusi langsung tanpa adanya putusan pengadilan serta tidak dapat melakukan eksekusi atas kekuasaan sendiri melalui lembaga parate eksekusi apabila syarat yang di tentukan dalam Putusan MK a quo tidak dipenuhi oleh kreditur. Tentu saja ini menyulitkan kreditur sedangkan melalui proses peradilan untuk mendapatkan eksekusi putusan pengadilan menyebabkan biaya yang di keluarkan untuk proses eksekusi lebih besar.

Putusan MK yang menggantungkan titik matangnya keberlakuan hak eksekutorial pada pemenuhan syarat yang di tentukan oleh Putusan MK ini sesungguhnya mendegradasi hak istimewa yang diperoleh oleh kreditur sebagai penerima fidusia. Hak eksekutorial dan lembaga parate eksekusi merupakan hak kreditur yang timbul dari adanya jaminan khusus kebendaan. Dalam sistem hukum jaminan kebendaan di Indonesia, terdapat dua jaminan kebendaan yakni jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum di atur dalam Pasal ….. Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sedangkan Jaminan Khusus diatur dalam …… Perbedaan jaminan khusus dan umum terletak pada keistimewaan kedudukan kreditur yang menerima jaminan ini. KUH Perdata membedakan kreditur dalam sifat utangnya. Terdapat tiga kedudukan kreditur. Pertama, kreditur konkuren adalah kreditur yang tidak memegang jaminan kebendaan dan mendapatkan pelunasan bersama dengan prinsip prorata. Kedua, kreditur preferen yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa dimana ia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu daripada kreditur konkuren. Ketiga, Kreditur separatis yaitu kreditur yang memengang hak jaminan dan mendapatkan pelunasan lebih dahulu dari pada kreditur lainnya. Dalam kepalilitan kreditur separatis menempati urutan pertama dalam pelunasan. Bahkan ia dapat melakukan eksekusi jaminan atas kekuasannya sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.

Hak istimewa ini juga merupakan ciri khas dari jaminan kebendaan. Sebelum Putusan MK a quo ciri khas jaminan fidusia yang mudah dalam pelaksanaan eksekusi dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) namun pernyataan ciri khas tersebut saat ini tidak dapat dipahami dalam pemahaman yang sama pasca putusan MK a quo. Dalam Putusan MK tertanggal 27 Agustus 2020 tentang Hak Tanggungan (HT), meskipun HT memiliki ciri yang hampir mirip dengan jaminan fidusia baik dari segi kedudukan kreditur dan kedudukan hak eksekutorial dalam HT namun hakim MK menolak uji materil terhadap  norma Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggung Atas Tanah.

Dalam Putusan MK a quo hak eksekuotrial baru akan berlaku bilamana adanya klausula cidera janji dan adanya tindakan sukarela debitur untuk menyerahkan. Dalam hukum kontrak, klausula cidera janji merupakan klausul naturalia. Klausul-klausul naturalia merupakan klausul yang sebaiknya ada namun bilamana tidak diperjanjikan oleh para pihak maka perjanjian itu tetap sah. Dalam hal ini maka kembalilah pengaturannya kepada aturan umum perikatan yaitu Buku III KUH Perdata. Menurut J.Satrio dalam bukunya Hukum Perikatan (1993, hlm.105) ia mengatakan bahwa dengan tidak dipenuhinya suatu teguran (somasi) akan membawa akibat debitur dalam keadaan lalai. Hal ini juga berdasarkan aturan dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa debitur dapat dikatakan lalai jika dengan surat perintah atau sejenisnya ia melalaikannya atau ditetapkan waktu dalam perjanjian tersebut. Pada jaminan fidusia biasanya terdapat waktu yagn di tentukan untuk melakukan pembayaran. Artinya, dengan adanya ketetapan waktu itu lah harusnya debitur sudah harus melaksanakan janjinya untuk melakukan pembayaran.

Dengan demikian, memperjanjikan cidera janji dalam perjanjian pokok sebaiknya dilakukan oleh para pihak untuk kepastian hukum, namun ketiadaan pasal cidera janji harusnya tidak menghambat proses eksekusi. syarat yang kedua adanya tindakan sukarela untuk menyerahkan objek jaminan sesungguhnya telah diperintahkan dalam Pasal….. UUJF. Menurut Yahya harahap mengatakan bahwa eksekusi memiliki arti melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan kekutan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi) tidak menjalankan dengan sukarela (vrijwilling). Demikian ini berarti bahwa eksekusi merupakan tindakan akhir dari adanya cidera janji. Kata kunci dari eksekusi adalah pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dijalankan secara sukarela. Artinya, apabila suatu putusan telah dilaksanakan secara sukarela maka tidak perlu adanya eksekusi. dengan demikian maka syarat harus adanya tindakan sukarela tidak diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi.

Yang menjadi persoalan bukanlah keberlakuan hak eksekutorial pada jaminan fidusia ini namun terletak pada eksekusi yang dilakukan tidak memenuhi tata cara eksekusi yang jelas. Undang undang tidak memberikan tata cara eksekusi melalui lembaga parate eksekusi secara khusus. Sebelum Pasal 15 ayat (3) di berikan pemaknaan baru, dalam penjelasan Pasal 15 Ayat (30) tersebut telah dinyatakan bahwa dipandang perlu untuk diatur secara khsusu tentang eksekusi jaminan fidusia tersebut. hanya saja sampai UUJF hendak dilakukan perubahan saat ini belum terealisasi sehingga dalam prakteknya terdapat banyak pelanggaran etika dalam proses eksekusi tersebut.  

Melalui pembaharuan undang undang jaminan benda bergerak  yang sedang dilakukan oleh pemerintah dapat mengembalikan hak istimewa kreditur kembali yang merupakan ciri khas dari jamian kebendaan.

(Yelia Nathassa Winstar & Yenni Triana)

Sumber: Dosen Hukum Universitas Lancang Kuning




Editor :
Kategori : Nasional
Untuk saran dan pemberian informasi kepada Redaksi JETSIBER.COM,
silakan kontak ke email: redaksi.jetsiber@gmail.com


Komentar Anda
Berita Terkait
 
 


Scroll to top